Kantor Bupati Nagekeo
Pemilihan Umum Bupati Nagekeo 2024 (Pilbup Nagekeo 2024) akan dilaksanakan pada 27 November 2024 untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati Nagekeo periode 2024-2029. Ada beberapa nama yang disebut-sebut media akan melaju sebagai calon Bupati dan wakil Bupati Nagekeo .
Media dan Media Sosial mulai ramai membicarakan nama-nama Bacabup Nagekeo untuk kontestasi pilkada Nagekeo tahun 2024. Nama-nama yang sering disebut antaranya Bupati Petahana Nagekeo Don Bosco Do, Mantan Hakim Tinggi Simplisius Donatus, dan Marsianus Jawa.
Tak hanya ketiga nama itu, nama lainnya juga muncul sebagai bakal calon Bupati Nagekeo 2024, yakni Patris Lali Wolo, Paul Nuwa, Elias Djo, Servasius Podhi, dan Seli Adjo. Melihat nama-nama tersebut, sebagian besar adalah wajah lama yang kerap berseliweran di dunia politik Nagekeo.
Indikator Pemimpin
Akademisi Wahyu Budi Nugroho dalam wawancaranya dengan balebengongid menyatakan, berdasarkan perspektif ilmu sosiologi ada sejumlah hal sebagai indikator pemimpin ideal. Pertama, adanya pemahaman konsep pemberdayaan adalah salah satu indikator pemimpin ideal, melalui beberapa prinsip pemberdayaan.
Kedua, dari sentralisasi ke desentralisasi, mengolah sumber dayanya sendiri, masyarakat jadi subjek. “Top down ke bottom up, dari perumusan masalah, perencanaan program, pemimpin yang bisa memberi ruang, isu dari masyarakat lokal,” ujarnya dikutip dari balebengong.id.
Ketiga, memperhatikan keragaman kebutuhan warga. Wahyu juga menyebutkan soal uniformity ke variasi lokal. Menurutnya, setiap masyarakat punya kebutuhan berbeda, maka konsepnya tidak bisa diseragamkan. Pemimpin juga perlu memperhatikan sistem komando ke proses belajar, kelanjutan desentralisasi, tak tergantung teknokrat. Kreativitas calon kepala daerah juga diuji agar tidak hanya tergantung pada arahan pusat saja. “Mulai era SBY desentralisasi masih etalase, sekadar nama PNPM, masih top down,” ungkap Wayu.
Keempat, calon pemimpin Nagekeo harus mengarusutamakan kearifan lokal. Ini berkaitan dengan era post modern dengan fenomena produksi informasi lebih masif dibanding manufaktur/benda. Alhasil narasi masyarakat runtuh, budaya pun goyah. Pemimpin harus memastikan agar nilai-nilai budaya di setiap daerah tetap hidup.